Di sejumlah desa di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa
Tengah, banyak anak asli Dieng yang memiliki rambut gembel atau gimbal.
Oleh karena itu, anak-anak tersebut biasa dipanggil sebagai anak gembel.
Rambut gimbal itu terjadi ketika mereka berumur 40 hari sampai sekitar
enam tahun yang diawali dengan gejala demam yang sangat tinggi dan suka
mengigau saat tidur. Uniknya, rambut gimbal itu baru boleh dipotong
setelah adanya permintaan dari anak itu sendiri. Ada beberapa versi
mengenai asal mula anak gembel ini, salah satu di antaranya adalah versi
cerita rakyat yang dikenal dengan Legenda Kawah Sikidang. Berikut
kisahnya.
Ratusan tahun yang silam, di Dataran Tinggi Dieng ada seorang putri
cantik jelita nan rupawan bernama Shinta Dewi. Ia tinggal di sebuah
istana megah yang dikelilingi taman bunga yang indah. Kecantikan Shinta
Dewi mengundang decak kagum bagi setiap pangeran yang melihatnya. Banyak
pangeran yang sudah melamarnya, namun tidak ada satu orang pun yang
sanggup mendapatkannya karena Shinta Dewi meminta mas kawin yang
jumlahnya sangat banyak.
Suatu ketika, seorang pangeran yang kaya-raya bernama Kidang Garungan
bermaksud melamar Shinta Dewi. Sang Pangeran merasa bahwa dengan harta
kekayaannya, ia dapat memenuhi mas kawin yang diminta oleh sang Putri.
Maka, ia pun mengutus beberapa orang pengawalnya untuk menyampaikan
lamarannya kepada Shinta Dewi.
“Sampaikan lamaranku kepada Putri Shinta Dewi,” titah Pangeran Kidang
kepada para pengawalnya. “Katakan kepadanya bahwa aku sanggup memenuhi
berapa pun mas kawin yang dia minta.”
“Baik, Pangeran! Perintah Pangeran segera hamba laksanakan,” jawab salah seorang utusan seraya berpamitan.
Setiba di kediaman Shinta Dewi, para utusan Pangeran Kidang Garungan
segera menyampaikan lamaran tuan mereka mereka kepada sang Putri.
“Ampun, Tuan Putri! Kami adalah utusan Pangeran Kidang Garungan.
Kedatangan kami ke mari adalah untuk menyampaikan lamaran beliau kepada
Tuan Putri,” kata salah seorang utusan.
“Hai, utusan Pangeran Kidang! Berapa banyak mas kawin yang disanggupi tuan kalian untuk melamarku?” tanya Putri Shinta Dewi.
“Ampun, Tuan Putri! Pangeran kami memiliki harta kekayaan yang melimpah.
Berapa pun mas kawin yang Tuan Putri minta, pangeran kami bersedia
memenuhinya,” jawab utusan itu.
Mendengar keterangan itu, Putri Shinta Dewi terdiam sejenak sambil membayangkan wajah Pangeran Kidang Garungan.
“Dia seorang pangeran yang kaya raya. Aku yakin, pastilah ia tampan dan gagah perkasa,” pikirnya
Putri Shinta Dewi akhirnya menerima lamaran Pangeran Kidang Garungan.
Sementara itu, para utusan segera kembali untuk menyampaikan berita
gembira tersebut kepada sang Pangeran. Alangkah senangnya hati Pangeran
Kidang Garungan mendengar berita tersebut. Ia pun segera memerintahkan
para pejabat istana untuk mengadakan persiapan kunjungan ke istana Putri
Shinta Dewi dalam rangka membahas rencana pernikahannya.
“Wahai para pejabat istana, tolong siapkan segala sesuatunya, termasuk
mas kawin yang diminta oleh Putri Shinta Dewi,” perintah Pangeran Kidang
Garungan. “Besok pagi-pagi sekali, kita
Berangkat bersama-sama menuju ke istana sang Putri.”
Mendengar perintah itu, para pejabat dan seluruh isi istana tampak sibuk
mempersiapkan segala sesuatunya. Ada yang sibuk menyiapkan mas kawin
berupa emas, intan, dan berlian. Sebagian yang lain sibuk menyiapkan
berbagai macam hadiah lainnya untuk sang Putri. Sementara itu, beberapa
pengawal menyiapkan kuda yang akan dikendarai oleh Pangeran Kidang
Garungan.
Keesokan harinya, Pangeran Kidang Kidang Garungan bersama rombongannya
pun berangkat ke istana Putri Shinta Dewi. Setiba di sana, mereka
disambut meriah oleh sang Putri dengan aneka hiburan. Namun, ketika
bertemu dengan Pangeran Kidang Garungan, sang Putri tersentak kaget
karena sang Pangeran ternyata bukanlah pria tampan seperti yang ada
dalam bayangannya.
“Oh, Tuhan. Mampuslah aku,” ucap Putri Shinta Dewi, “Ternyata, pangeran itu bertubuh manusia tapi berkepala kidang (Kijang,
dip)!”
Putri Shinta Dewi merasa amat kecewa. Namun, nasi telah menjadi bubur.
Ia sudah terlanjur menerima lamaran Pangeran Kidang Garungan. Sang Putri
sudah berusaha ingin menerimanya, tapi hatinya tetap menolak. Maka, ia
pun berpikir keras untuk mencari jalan keluar agar pernikahannya dengan
pangeran berwajah kijang itu batal. Sebelum pernikahan dilaksanakan, ia
memberikan satu syarat yang amat berat kepada Pangeran Kidang Garungan.
“Ketahuilah, Pangeran! Kami yang tinggal di daerah ini amat kesulitan
mendapatkan air untuk keperluan sehari-hari. Maka itu, Dinda ingin
dibuatkan sebuah sumur yang besar dan dalam. Dinda tidak mau menikah
dengan Kanda sebelum sumur itu selesai,“ pinta Putri Shinta Dewi, “Tapi,
pembuatan sumur itu harus dikerjakan sendiri oleh Pangeran dalam waktu
sehari.”
Dengan syarat yang berat itu, Putri Shinta Dewi berpikir bahwa sang
Pangeran tidak mungkin bisa memenuhinya sehingga mereka pun batal
menikah. Namun, di luar dugaannya, ternyata Pangeran Kidang Garungan
memiliki kesaktian yang tinggi.
“Baiklah, Dinda. Kanda siap memenuhi syarat itu,” kata Pangeran Kidang Garungan.
Pada hari itu juga, sang Pangeran membuat sumur di sebuah tempat sepi
yang telah ditunjuk oleh sang Putri. Dengan kesaktiannya, ia menggali
tanah itu dengan tangannya sedikit demi sedikit. Sesekali ia menggunakan
tanduknya untuk menggali tanah yang keras. Ia bekerja dengan cepat dan
tanpa mengenal lelah. Ketika sumur itu hampir selesai, sang Putri pun
mulai panik.
“Pangeran Kidang Gurangan ternyata sakti. Bagaimana jadinya jika ia
benar-benar dapat menyelesaikan sumur itu?” gumam sang Putri, “Ah,
tidak. Aku tidak mau menikah dengannya. Aku tidak akan membiarkan dia
menyelesaikan sumur itu.”
Putri Shinta Dewi pun segera memerintahkan para pengawal dan
dayang-dayangnya untuk menimbun sumur itu. Pangeran Kidang Garungan yang
berada di dalamnya tidak sadar jika dirinya telah ditipu. Ia baru
menyadari hal itu setelah kerukan-kerukan tanah menimpa dirinya. Ia pun
berteriak agar sang Putri berhenti menimbun dirinya di dalam sumur itu.
“Putri, hentikan! Hentikan...!” teriaknya.
Semakin keras sang Pangeran berteriak, semakin cepat pula para pengawal
dan dayang-dayang itu menimbuninya. Ketika seluruh tubuhnya telah
tertimbun tanah, pangeran itu segera mengerahkan kesaktiannya agar bisa
keluar. Tak ayal, sumur itu meledak sehingga tanah berhamburan keluar.
Ketika ia ingin keluar, sumur itu terus ditumbuni. Akhirnya, Pangeran
Kidang Garungan pun tewas tertimbun tanah di dalam sumur itu. Sebelum
menghembuskan nafas terakhir, ia bersumpah bahwa seluruh keturunan
Shinta Dewi akan berambut gembel. Sementara itu, sumur yang meledak itu
lama-kelamaan menjadi kawah yang dan diberi nama Kawah Sikadang.
Demikian cerita Legenda Kawah Sikadang dari Dataran Tinggi Dieng,
Jawa Tengah. Hingga kini, Kawah Sikidang masih aktif mengeluarkan uap
panas yang mengandung belerang. Sementara itu, anak berambut gembel
akibat kutukan Pangeran Kidang Garungan juga masih dapat kita temukan di
daerah ini. Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas
adalah bahwa Putri Shinta Dewi menerima lamaran Pangeran Kidang Garungan
bagai “membeli kucing dalam karung”. Akibatnya, timbullah penyesalan
dan perasaan kecewa pada diri sang Putri sehingga mengakibatkan nyawa
Pangeran Kidang Garungan melayang. Jadi, sebelum menerima lamaran
seseorang sebaiknya kita teliti terlebih dahulu keturunan dan silsilah
si pelamar, serta mengetahui atau melihat langsung bentuk fisiknya
sehingga tidak menimbulkan rasa penyesalan di kemudian hari.